Minggu, 23 Oktober 2011

Secuil Kekuasaan

Kita menyadari bahwa pengunduran diri Partai Aceh (PA) dari Pilkada tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh semua kalangan. Partai Aceh sebagai partai lokal satu-satunya yang mencukupi semua syarat untuk mencalonkan kadernya di ajang pemilihan kepala daerah tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota malah mundur dari Pilkada yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Terlepas dari alasan PA tentang penyelamatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), seharusnya PA memanfaatkan peluang ini sebaik mungkin dengan berlapang dada menerima calon perseorangan demi kepentingan perdamaian Aceh dan konstituennya. Pasti semua masyarakat Aceh bertanya-tanya mengenai keputusan yang kontroversial ini, ada apa dengan PA?
Terkait dengan kisruh yang memperdebatkan salah satu pasal yang terkandung di dalam UUPA, penulis tidak berpihak pada satu kelompok manapun yang sedang bertikai, akan tetapi penulis berpikir dalam dua sisi yang saling berbeda. Disatu sisi penulis berpikir apakah pencabutan pasal 256 UU 11/2006 tersebut sudah sangat merusak UUPA sehingga perlu “diselamatkan”? Sementara disisi lain yang menjadi pertanyaan mengapa calon perseorangan yang pasti sudah tahu tentang makna yang terkandung dalam pasal 256 UU 11/2006 tetap nekat mengusulkan penghapusan pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi, padahal mereka tentu sudah memprediksi potensi konflik yang akan timbul, jika calon perseorangan benar-benar ingin menghindari konflik bisa saja mereka ikut Pilkada dengan menggunakan “kenderaan politik” partai nasional. Bukankah lebih baik hal itu dipikirkan terlebih dahulu agar tidak muncul kebingungan rakyat akibat perdebatan yang terus memanas seperti yang terjadi sekarang.
Patut kita renungi bersama, jangan hanya disebabkan oleh kepentingan kelompok semata kemudian UUPA sebagai simbol perdamaian menjadi perdebatan yang akhirnya berujung pada konflik kepentingan. Konflik berkepanjangan dan nyawa saudara-saudara kita adalah “harga” dari sebuah UUPA, mengapa justru kini harus diperdebatkan demi kepentingan perebutan kekuasaan, bukankah sebenarnya kita harus menghargai dan merawat perdamaian yang didapat setelah perjuangan yang panjang.
UUPA adalah sesuatu yang meningkatkan nilai tawar Aceh terhadap Jakarta, daerah yang beberapa puluh tahun “dianak-tirikan” dalam segala bidang. Dari pengalaman tersebut Aceh diharapkan bisa lebih mandiri dari daerah lain. Pada saat otonomi belum diberlakukan dan konflik RI-GAM berlangsung kita masih bisa bertahan dengan segala keterbatasan, apalagi sekarang disaat semuanya telah lebih baik, seharusnya kita berkembang dengan hasil yang lebih baik pula, bukan malah sebaliknya.
Semua pihak yang terlibat dalam politik di Aceh harus menyikapi perubahan secara arif dan bijaksana, jangan karna kepentingan politik kemudian kondisi Aceh yang sedang membangun setelah tertunda bertahun-tahun akibat konflik berkepanjangan menjadi terganggu dan rakyat kembali menjadi korban.
Jika pertikaian ini terus dilanjutkan kapan kita mempunyai waktu untuk berfikir merancang program pembangunan demi kesejahteraan rakyat, masing-masing disibukkan oleh hasrat mengejar kekuasaan dan mengatur rencana agar tetap bisa berkuasa di periode berikutnya.
Berlomba memajukan Aceh yang jauh tertinggal dari daerah lain di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama kita, bukan malah saling sibuk bertengkar sesama saudara demi memperebutkan secuil kekuasaan. Sebaiknya kita berpikir kembali secara sehat untuk kepentingan rakyat Aceh selaku kepentingan yang lebih diprioritaskan.  
Semoga saling “sikut-menyikut” antara satu kelompok dengan kelompok lainnya yang berbeda kepentingan dalam perebutan kekuasaan tidak menjadi tradisi politik yang akan diwariskan kepada generasi muda yang akan memimpin Aceh kita dimasa depan, jangan sampai generasi muda terpola dengan pola pikir bahwa etika politik yang sehat cuma “omong-kosong”. Semoga!
*Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, FKIP Unsyiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar