Senin, 24 Oktober 2011

Dayah di Turki




Sama seperti di Aceh ketika masih berstatus Kerajaan Islam, di Turki juga pada masa Kerajaan Turki Usmani seluruh masalah intern dayah adalah urusan ulama. Di awal pertumbuhannya sampai abad ke 16 dayah-dayah di Turki begitu maju. Dari lembaga pendidikan inilah lahirnya sejumlah tokoh-tokoh terkenal di Turki, mulai dari yang menjadi raja, panglima-panglima perang yang tangguh, birokrat dan juga sejumlah tenaga tehnik yang mampu menciptakan berbagai teknologi konstruksi bahkan juga kapal-kapal perang dan berbagai alat persenjataan.

Tetapi sejak abad ke 16 Turki Usmani banyak sekali terlibat peperangan, baik dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan maupun dalam mempertahankan wilayah dari serangan luar. Sejak itu alumnus dari dayah ini hanya tamatan dayah di Turki saja, tidak pernah dikirim ke luar negeri lagi seperti sebelum-sebelumnya. Demikian juga guru-gurunya dipadati tamatan tempatan saja, tidak diundang lagi ulama-ulama dari luar. Sehingga ilmu yang diajarkan di dayah tidak berkembang, terus menerus belajar dari kitab yang sama.

Padahal seperti diketahui Eropa telah mulai maju sejak abad ke 15, setelah mereka belajar dari ulama-ulama Islam di Andalusia. Melalui pemikiran ulama Islam, terutama sekali pikiran Ibnu Rusydi, mereka jadikan dasar penelitian dan pengembangan ilmu selanjutnya.

Demikianlah mulai abad ke 16 Eropa sudah mulai mengungguli Turki Usmani. Teknologi persenjataan yang sebelumnya diungguli oleh Turki, sudah mulai dapat dimbangi oleh Eropa. Ada di antara tokoh di Turki yang sadar terhadap hal ini sehingga menyarankan agar umat Islam di Turki juga diadakan pembaharuan. Misalnya Ibrahim Al-Mutafarrika mendirikan percetakan agar kitab-kitab dapat produksi dengan cepat dan dapat disebar dengan cepat untuk umat Islam. Apa yang terjadi, sejumlah ulama datang berdemonstrasi menentang Al-qur’an dan kitab-kitab agama tidak boleh dicetak oleh percetakan. Al-qur’an dan kitab-kitab agama adalah sesuatu yang suci, jadi harus tangan ulama lah yang boleh menulisnya. Demikianlah gambaran mundurnya pemikiran ulama di Turki ketika itu.

Di sisi lain para politikus dan pemimpin negara termasuk angkatan bersenjata memerlukan pembaharuan demi menjaga Turki dari gempuran musuh. Ketika itulah perselisihan antara ulama-raja di satu pihak yang tetap dengan pemikiran tradisionalnya dengan pemuda-pemuda Turki yang ingin maju agar mampu melawan musuh yang sedang berusaha menghancurkan kerajaan, di pihak lain. Sekitar tahun 1920, semua wilayah yang dikuasai kerajaan Turki Usmani telah habis dikuasai bangsa Eropa. Kota Istambul sendiri telah mulai diduduki oleh tentera Prancis dan Inggris. Raja dan ulama tidak dapat berbuat apa-apa.

Lalu sejumlah pemuda yang dipimpin oleh Kemal Attaturk, sebagiannya adalah tentara, membentuk kelompok nasionalis. Mereka tidak dapat menerima tentara pendudukan. Mereka menyusun kekuatan untuk melawan tentara pendudukan. Di saat itu ulama dan raja bukan hanya tidak memberi dukungan bahkan mengeluarkan fatwa bahwa kaum nasionalis yang memberontak itu telah jadi kafir dan halal dibunuh. Kenyataannya memang kelompok pemuda ini memenangkan perang. Berdasarkan itu mereka lalu memproklamirkan Negara Turki sebagai negara republik, tidak lagi sebagai kekhalifahan.

Ide ini kemudian mendapat tantangan dari raja dan juga ulama. Ulama dari Kurdi malah mengadakan pemberontakan dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan melawan Kemal Ataturk. Ketika itulah kemal Ataturk menutup semua dayah-dayah, bahkan tempat perkumpulan kaum sufi (tekke). Sembahyang berjamaah tidak dibolehkan di depan umum. Ketika itulah sejumlah tokoh-tokoh Islam baru menyadari bahwa mereka memang ketinggalan jauh dari bangsa-bangsa yang dulu belajar dari umat Islam.

Diam-diam seorang ulama tamatan dayah yang cepat membaca tanda-tanda zaman, pulang ke desa dan membuat halaqah memberi pengajian dengan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan zaman. Banyak muridnya yang kemudian menjadi tokoh di Negara Turki seperti Erbakan yang memulai membangun Negara dengan semangat Islam. Termasuk Erdogan sekarang yang telah terpilih tiga kali sebagai perdana menteri. Di bawah kepemimpinannya sekarang telah didirikan kembali dayah dalam bentuk modern yang diberi nama imam-hatib ekul, dan hampir semua institusi dikuasai oleh tokoh-tokoh Islam taat.

Tokoh lain murid dari Said Nursi adalah Fethullah Gullen. Dia telah menyeponsori berdirinya sekolah-sekolah Islam sebagai dayah bentuk baru sampai universitas dengan memberi prioritas ilmu teknologi. Lembaga pendidikan ini didirikan tidak hanya terbatas di Turki tetapi hampir di seluruh dunia, terutama sekali di negara-negara muslim minoritas.

Untuk memenuhi kajian Islam yang mendalam sekarang di Turki telah didirikan 34 buah Fakultas Ilahiyat. Mengkaji agama di fakultas bukan hanya sumber dari kitab Arab tetapi juga bahasa pengantarnya dalam bahasa Arab. Untuk penelitian lebih lanjut lagi telah disediakan pusat studi Islam lengkap dengan berbagai fasilitas termasuk kitab-kitab rujukan dari berbagai cabang ilmu agama Islam, baik yang klasik maupun yang modern. Yang mengadakan penelitian di sana, seperti ISAM di Istambul, adalah para ustaz-ustaz, ulama-ulama dan profesor yang datang dari berbagai negara. Itulah dayahnya orang Turki sekarang.

*
Dikutip dari tulisan M. Hasbi Amiruddin
   (Guru Besar IAIN Ar Raniry, Banda Aceh)

1 komentar: