DEMIKIAN buruk keadaan yang dialami perempuan satu ini. Tak mengenal iadengan
musim semi, yang dikenalnya hanyalah musim gugur dan musim dingin. Meski
harapan yang masih ia punya tak ikut berguguran dengan keadaannya yang
memilukan, namun tetes-tetes berlian dari kedua matanya terus-menerus bergulir
deras, berhamburan bak air hujan. Kegembiraan di hatinya telah lama sirna,
gugur berjatuhan laiknya daun-daun yang rontok dari pohonnya dan tak mungkin
kembali. Hanya kegelapan yang mengitarinya. Ya… dalam keadaan demikianlah ia
hidup, dan dalam keadaan seperti itu pulalah ia akan mati.
Pun tak ada satu orang pun lelaki yang berkenan singgah di sisinya untuk
mengusir rasa dingin yang selama ini menerpanya. Kedua bibir pucatnya, sudah
tak mengenal kata apapun lagi, selain kata-kata ratapan pada langit yang tak
kunjung mendengarnya, dan mengutuki takdir, yang tak jua mengasihi keadaannya.
Di suatu malam gulita, berhembus kencang angin puting beliung,
bergemuruh hebat, namun bukan di luar kamarnya, melainkan di dalam dirinya.
Tersedu-sedu ia menangisi keadaan dirinya yang begitu buruk. Tiba-tiba bibirnya
bersuara,
“Wahai Setan, tak ada yang tersisa selain engkau…”
Usai melepaskan kalimat tersebut, ia menunduk, seperti orang limbung
yang hilang setengah kesadaran. Tiba-tiba, muncul retak di salah satu dinding,
perlahan dan perlahan, dinding tersebut terbelah, dan keluarlah sosok Setan,
sebagaimana ketika dahulu ia muncul di depan Faust. Dan Setan sesungguhnya
tidak pernah menulikan pendengarannya dari segala panggilan. Pendengarannya
tajam, dan ia selalu bersegera memenuhi suara-suara yang memanggilnya jika
memang benar-benar ada yang memanggilnya.
“Apa yang engkau inginkan, wahai perempuan?”
tanya Setan.
“Keindahan… Kehidupan… Kenikmatan…!” kata-kata tersebut meluncur begitu
saja dari bibir si perempuan seperti meluncurnya kata “air” dari bibir seorang
musafir yang tersiksa dahaga di padang Sahara.
Dan berkata kembali Setan, “Engkau tahu harga untuk semua yang engkau sebutkan
tadi?”
“Ambil berapapun harga yang engkau inginkan!”
ujar si perempuan tanpa banyak pertimbangan.
“Ruhmu. Ruhmu akan kubawa ke
neraka Jahim! Karena memang itulah kerjaku di dunia ini. Mengumpulkan ruh-ruh
anak Adam untuk menyemarakkan kerajaanku bernama Jahannam, dan kelak kita
lihat, siapa yang berhasil meraih pengikut terbanyak; akukah, yang duduk di
singgasana Neraka; ataukah dia, yang duduk di singgasana Firdaus”
“Berikan aku kesenangan selama
sepuluh tahun, setelah itu, terserah kau mau ambil dariku apapun yang kau mau.
Neraka sekalipun tidak membuatku takut, karena saat ini pun aku sedang berada
di neraka!”
“Kita sepakat!” ujar Setan menyahut. “Sepuluh
tahun ini milikmu, dan setelah itu, engkau milikku…”
Setan segera membuat dokumen perjanjian dengan darah si perempuan dan
menandatanganinya. Kemudian ia mengusap tubuh si perempuan dengan tangannya.
Tak berapa lama kemudian, Setan memberi isyarat agar si perempuan membalikkan
tubuhnya dan menghadap cermin. Dan terpanalah si perempuan. Di cermin itu ia
lihat sosok yang begitu jelita, indah tiada tara, dan tubuhnya memancarkan
sinar kemilau laiknya cahaya meteor berpendaran. Sungguh, itu kecantikannya. Ia
tak percaya. Benarkah ia pemilik tubuh menawan ini? Benarkah itu ia yang
memiliki semua pesona ini?
Segeralah ia menceburkan diri ke dalam lautan kesenangan. Melelahkan
diri berenang di lautan kenikmatan. Hingga tidak terasa waktu sudah sampai di
tahun kesepuluh.
***
Setan datang dengan membawa dokumen perjanjian, mengingatkan si
perempuan akan masa perjanjian yang sebentar lagi jatuh tempo.
“Tentu, tentu… aku tidak lupa, aku masih ingat soal
kontrak perjanjian kita,” lontar si perempuan. “Tapi…”
“Tapi? Tapi apa?” Setan mengernyitkan alis.
“Masih ada satu kesenangan yang belum aku
cicipi”
“Apa?! Masih ada kesenangan yang belum kau
cicipi?!” tanya Setan terperanjat.
Hening. Setan tak segera beranjak dari keterhenyakannya. Ia menunggu apa
lagi yang bakal terlontar dari bibir si perempuan.
“…Kesenangan Ruh. Kenikmatan Ruh.
Itulah satu-satunya kesenangan yang belum pernah kuteguk. Coba kau tengok lagi
dokumen perjanjian yang pernah kita sepakati yang ada di tanganmu itu. Bukankah
engkau sudah berjanji akan memberikan aku seluruh kesenangan selama sepuluh
tahun? Dan sekarang, masih tersisa dua bulan sebelum masa kontrak perjanjian
ini habis.
Aku sudah puas menikmati kesenangan ragawi, kini aku hanya menginginkan
kesenangan ruhani. Beri aku kesenangan ruhani selama sisa dua bulan ini. Setelah
itu, terserah kau mau bawa ruhku ke mana pun kau mau!”
Setan menelan ludah.
“Baik. Baik. Engkau
mendapatkan apa yang kau minta. Dan engkau lihatlah, bahwa aku adalah seorang
yang bisa dipercaya.”
Setan pun lenyap dari pandangan. Si perempuan seketika berdiri, dan
menanggalkan gaun mewahnya, membuang gelang-gelang emas dan alat-alat
kosmetiknya, dan mengenakan pakaian kasar yang biasa dipakai oleh para kaum
sufi-asketis, dan melaksanakan kewajiban haji, dan kemudian tenggelam dalam
dzikir dan perenungan-perenungan luhur, tersibukkan dalam amalan-amalan salih,
terjun sedalam-dalamnya ke dalam kehidupan yang tinggi, mulia lagi suci, hingga
lewat sudah waktu dua bulan tiada terasa.
Dan kembali Setan datang menagih janji. Namun alangkah terkejutnya Setan
tatkala mendapati si perempuan sekarang. Ia dibuat gemetaran melihat sosok di
depannya. Berpendaran penuh dengan kilau cahaya. Bukan cahaya seperti cahaya
meteor seperti dulu, yang ini lebih dari itu, cahaya yang menyelimuti si
perempuan kali ini begitu sublim, dalam dan lembut.
Setan tahu betul, ini cahaya yang berasal dari Arsy langit yang suci
lagi tinggi. Jadi bukan tanpa alasan jika Setan bergidik ketakutan. Tapi ia
nekat memberanikan diri mendekati sosok yang terang-benderang di hadapannya
itu.
“I, ini… ini sudah saatnya. Mari pergi
bersamaku ke Neraka Jahim”
“Ya. Ayo” jawab si perempuan menurut, tanpa
ragu.
***
Keduanya sampai di depan gerbang Jahannam. Kedatangan mereka segera
diketahui Zabaniyyah. Gerbang neraka pun terbuka, dan keluarlah Si Raja Neraka.
Si perempuan tanpa ragu melangkah masuk. Namun siapa sangka, tatkala kakinya
hendak menginjak ambang gerbang, seketika berhembus kencang angin yang sejuk
dari arah bawah, menjauhkan tubuh si perempuan dari jilatan api. Malaikat
Zabaniyyah kaget. Setan terperanjat.
“Apa ini?! Apa ini?!”
Seketika muncul lengan-lengan malaikat penjaga Surga, menyambar dengan
lembut tubuh si perempuan, dan terdengar suara membahana,
“Perempuan ini milik kami”
Setan berteriak, “Sinting! Apa-apaan kalian! Dia milikku! Ruhnya telah
digadai kepadaku sebagaimana telah tercatat dalam dokumen perjanjian ini!
Lihatlah!”
“Kami tak mengurus dokumen
perjanjian, lagipula bukan itu yang kami lihat, yang kami lihat dari perempuan
ini hanyalah ruhnya! Ruh perempuan ini termasuk ruh penghuni Surga!”
“Tidak. Tidak. Ia ruh ahli neraka! Ruhnya
telah distempel sebagai ahli neraka sejak sepuluh tahun lalu!”
“O ya? Tapi dua bulan terakhir ini ia telah
dirasuki hawa Surga. Tidakkah engkau lihat hembusan angin kencang yang
menghalau tadi? Api kalian bahkan tidak akan sanggup menahannya”
Setan sejenak termangu.
“…Begitu…, jadi perempuan ini telah menipuku?!”
“…Begitu…, jadi perempuan ini telah menipuku?!”
Si perempuan, yang sedang berada dalam pegangan lengan Malaikat, sontak
berteriak,
“Aku tidak menipumu! Aku setia pada perjanjian! Bawa aku ke neraka Jahim! Wahai Malaikat, biarkan aku pergi ke neraka! Itu sudah janjiku! Adalah suatu keutamaan bagiku bisa menepati janji biarpun dengan makhluk bernama Setan! Biarkan aku pergi!”
“Aku tidak menipumu! Aku setia pada perjanjian! Bawa aku ke neraka Jahim! Wahai Malaikat, biarkan aku pergi ke neraka! Itu sudah janjiku! Adalah suatu keutamaan bagiku bisa menepati janji biarpun dengan makhluk bernama Setan! Biarkan aku pergi!”
“Nah! Nah! Kalian lihat?! Kalian
dengar sendiri apa yang dia bilang?! Dia milikku! Jadi sekarang lepaskan dia
dan biarkan dia ikut denganku ke neraka!”
Malaikat bergegas membawa si perempuan ke surga, dan berkata,
“Kalau saja ia menyangkal dan mengingkarimu, wahai Setan, sudah barang tentu ia kami serahkan padamu”
“Kalau saja ia menyangkal dan mengingkarimu, wahai Setan, sudah barang tentu ia kami serahkan padamu”
“Amboi! Benar-benar ucapan yang
masuk akal! Sudah jelas-jelas ia berteriak-teriak pada kalian mengafirmasi
bahwa dia adalah milikku, dan kalian hendak menjadikan bukti dan kenyataan ini
untuk melawanku?! Dia telah mengakui dokumen perjanjian ini! Dia telah mengakui
bahwa ruhnya adalah milikku!”
“Benar. Ruhnya yang pertama. Tapi
di manakah gerangan ruhnya yang pertama? Ia telah memberikan ruhnya yang
pertama padamu maka carilah ruhnya yang pertama tersebut, sedangkan ruhnya yang
ini, yang berpendaran dengan cahaya Ilahi ini, adalah milik kami. Nah, wahai
perempuan suci, mari ikut bersama kami…”
Si perempuan yang berada di
tengah-tengah sengketa itu kembali memelas kepada Malaikat.
“Sungguh suatu kejahatan bagiku mundur dari perjanjian. Bawalah aku
kepada Tuhan kalian agar menghapus dosa-dosaku yang awal…”
“Sudah tak ada lagi dosa-dosa awal. Cahaya
sucimu yang akhir ini meleburkan seluruh dosa-dosa awalmu”
“Jika demikian tidakkah perkara
yang satu ini menempatkanku dalam dosa yang baru perjanjian yang mesti kupenuhi ini?”
“Engkau sudah tidak ada urusan lagi dengan
semua itu, sekarang mari ikut kami ke surga.”
Setan seketika berteriak, “Aneh! Sudah jelas-jelas ia perempuan mulia yang
konsisten dengan ucapannya untuk
tetap setia pada perjanjian, tapi kalian justru malah hendak menurunkan derajat
dan kemuliannya?!”
Berkatalah para Malaikat, “Engkau
mengakui bahwa perempuan ini mulia? Kalau begitu sekarang kami tanya, di mana
tempat yang paling layak bagi seorang perempuan mulia? Neraka, ataukah Surga?”
Skak mat! Setan betul-betul
mati kutu di titik ini. Ia benar-benar luar biasa dongkol kali ini.
“Keparat! Keparat kalian!! Ya sudah! Ambil dia dan minggatlah kalian dan
tinggalkan aku sendiri!”
Setan akhirnya ditinggalkan
sendiri, bergelut dengan pikirannya.
“Heran… bukankah itu adalah ruh
si perempuan…? Dia hanyalah seorang perempuan. Jalan neraka yang kubuat
untuknya, justru malah mengantarkannya ke surga. Aargh! Tapi… tapi sumpah, aku
tidak akan pernah lupa bahwa sebetulnya ia telah membuatku tertipu, tidak akan…
ini tidak akan pernah aku lupa. Ya, mengecohku tatkala ia menyebut kata
‘Keutamaan’… ‘Kenikmatan’… “
#The End#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar